Primordialisme adalah Realita

Saya bermimpi keempat anak kecil saya, suatu hari akan hidup di sebuah bangsa,
di mana mereka tidak akan dinilai karena warna kulitnya, tetapi karena karakter mereka.

(Marthin Luther King Jr.)

Tembok adalah simbol kekuatan keberagaman jadi belajarlah pada tembok,” ungkap seorang Norbert Ama Ngongu, almarhum adalah bekas dekan Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, NTB, pendiri PMKRI Cabang Mataram.

Beliau pluralis yang giat mengkampanyekan sinergi dan solidaritas di tengah saudara-saudari kita umat Muslim maupun non-Muslim di NTB. Sebuah bangunan tembok yang kukuh, menurut beliau, tidak akan mampu berdiri bila bertumpu hanya pada satu jenis material saja sebagai bahan bakunya, jika seumpama pasir, hanya keletihan dan kerapuhan yang tampa.

Tetapi menjadi amat kokoh ketika material pasir, semen, air, dan batu menyatu menjadi satu kesatuan. Penghayatan ini menuju jantung pemaknaan saya. Perpaduan atau saling silang varian warna, elemen, pemikiran, dan kontribusi bermutu adalah kekuatan yang merubah dan berimpak positif.

Tapi jika menengok ke ruang publik hari ini, kita disuguhkan dengan primordialisme yang merembes ke ruang publik, filosofi tembok menjadi tidak layak jual pada aras ini. Inti makna ruang publik dierosi dan diklaim status kepemilikannya sebagai yang eksklusif.

Ranah publik yang semestinya milik semua dan untuk semua, inklusif, menjadi tertutup. Dan tendensinya, inklusivitas ruang publik hanya sekadar kosmetik. Oleh Haryatmoko ruang ini disebut ruang keikutsertaan bagi semua baik dalam debat publik, pembentukan kehendak umum, dan etika publik serta pengambilan kebijakan bersama.

Spiritnya (elan) adalah bersama satu tujuan. Sesungguhnya tanpa sadar kita sedang memposisikan diri kita bukan pada ruang yang layak didiami, karena “kolonialisasi yang halus dan diam-diam” ketunggalan yang mayor terhadap keanekaragaman yang minor, yang oleh para post-modernis disebut kaya, tapi digeser ke pinggiran-pinggiran realitas, mengalami pemandulan, impotenisasi, secara sistematis dan sistemik.

Padahal, realitas itu sendiri tidak hanya diformat singular atau homogen, melainkan juga plural atau heterogen. Dengan demikian, seharusnya yang dominan dan yang beragam tapi minor di sebuah negara wajib setara (equal) dalam hal tugas dan tanggung jawab sebagai warga negara.

Eksklusivitas dalam proses pembangunan segala aspek menutup akses partisipasi sumber daya manusia berkualitas dengan beranekaragam latar belakangnya. Mekanisme serupa ini berpretensi menutup alur proses pencapaian ekspektasi akan kemajuan pembangunan, sebatas bergerak di lingkaran euforia wacana belaka, melulu utopis.

Negara-negara yang disebut besar bukan karena jumlah penduduk dan luas wilayah tapi karena kemajuan diberbagai aspek, khususnya seperti Amerika, Inggris, Perancis, dan Australia tidak bebas dari partisipasi, dialog, dan kerja sama berbagai latar belakang varian agama, ras, kelompok, budaya, dan bahasa.

Manusia bermutu dibukakan ruangnya di negara-negara tersebut tanpa menjadikan semangat primordial atau sentimen agama, ras, budaya sebagai tolok ukur. Keterbukaan ruang terjadi lebih pada alasan mutu keahlian dan watak manusianya dan keberadaannya dimaksimalkan sungguh bagi peningkatan kualitas kemajuan negara. Sinergi benar-benar tidak sekadar slogan.

Kita sering sengaja alpa merefleksikan bahwa Indonesia sebagai keadaan adalah hasil pengejawantahan utuh kolaborasi keberagaman bukan kolaborasi keseragaman. Nasionalisme Indonesia sendiri lahir sebagai konsekwensi kesamaan sejarah dari keanekaragaman yang bermuara pada lahirnya sebuah ikatan, yang oleh Ernest Renan disebut ikatan le desire d’etre ensemble, keinginan untuk bersatu.

Fakta era penjajahan adalah bukti, di mana semua anak bangsa bersatu melawan musuh kolektif tanpa mengkotak-kotakkan dirinya dalam ruang eksklusif dan efeknya adalah perengkuhan kemerdekaan yang tak terhingga nilainya.

Dan Bung Karno sendiri pada 17 Agustus 1945, ketika didesak teman-temannya agar segera memproklamasikan kemerdekaan, berkata, “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada.” “Demi persatuan,” tambahnya. Sayangnya, semangat masa lalu tersebut tidak mengada secara lengkap lagi dalam pemenuhan kebutuhan akan kemerdekaan yang lebih substantif di ruang keharinian.

Dan menurut Ignas Kleden bahwa kemerdekaan di era kekinian tidak lagi dipandang dari konteks kelampauannya, yakni kemerdekaan-dari (freedom from) berupa pembesasan diri dari penjajahan, tapi mesti dipandang lebih dalam sebagai kemerdekaan-untuk (freedom for) berupa realisasi bakat dan kemampuan setiap warga dan masyarakat.

Kalau kemerdekaan-dari mengharuskan persatuan maka kemerdekaan-untuk menuntut lebih banyak ruang untuk kemajemukan karena kemerdekaan pertama-tama diuji oleh adanya kemerdekaan untuk berbeda.

Yang terjadi hari ini adalah kita secara sadar mengekang kemerdekaan-untuk karena mengidap penyakit amnesia, kecacatan akut pada ingatan, untuk merancang bersama dan mengisi kemerdekaan-dari. Menghilangkan memori secara sengaja akan dua hal mendasar.

Pertama, pentingnya sinergi dan solidaritas semua elemen dengan kekayaan pemikirannya masing-masing. Kerja sama dalam spirit kesetiakawanan sosial penting untuk melihat bersama masalah-masalah sosial kemasyarakatan kita dan menemukan serta mengkonstruksi solusi pemecahannya. Lalu bersama pula mengeksekusi, memonitor, serta mengevaluasi menurut tolok ukur kesejahteraan bersama.

Kedua, betapa signifikannya menentukan musuh bersama di era kemerdekaan. Masalah kemiskinan, kobodohan, lingkungan hidup, dan lemahnya mutu kesehatan manusia kita yang melampaui batas-batas keagamaan, etnis, ras, bahasa ataupun budaya, hendaknya menjadi musuh kolektif kita. Larut dalam kenikmatan bersetubuh dengan pola pikir dan tindak primordial yang myopic sebagai prioritas, sehingga masalah-masalah tersebut sukar terentaskan. Padahal kemerdekaan (freedom from) telah berusia 66 tahun.

Primordialisme sebagai yang insubstansi mesti dinegasikan keadaannya di kekinian dan keakanan demi terciptanya ruang merdeka dalam bingkai sinergi nirsentimen di manapun kita berpijak.

Untuk itu, ada beberapa poin pokok yang menjadi kunci.

Pertama, kesadaran (consciousness) seluruh warga negara bahwa bukan hanya ‘kami’ tapi ‘kita’ segenap komponen merupakan bagian integral yang membentuk identitas bangsa ini. Ini sangat esensial untuk mereduksi bahkan sampai pada titik eradikasi semangat primordial yang melumpuhkan sendi-sendi kebangsaan dan menumbuhkan friksi banal.

Kedua, pembumian dan penguatan multikulturalisme, yang berfungsi mendorong penerimaan keanekaragaman.

Ketiga, diperlukan segregasi tegas antara kualitas akal, watak manusia, dan previlese atau favoritisme terhadap agama, suku, budaya, bahasa, dan kelompok, sehingga segenap komponen apapun latar belakangnya dapat ikut terlibat aktif dalam pembangunan bersama rumah publik dengan segala fasilitasnya. Dengan demikian, ruang publik tidak menjadi domain atau didominasi kelompok besar tertentu.

Keempat, cara pandang kita terhadap keberadaan agama, partai, suku, dan kelompok harus ditransformasi agar jangan sampai pada pengkultusan sehingga mereka tidak menjadi pengekang kemerdekaan-untuk. Dan citra mereka sejatinya ditentukan oleh sejauh mana nilai-nilai ideal yang ditanamkan, diamalkan secara bermutu oleh anggotanya masing-masing.

Tulisan sederhana ini tidak berisikan pemikiran baru, tetapi hanya ingin menggugah dan mengingatkan kita kembali untuk mencintai keanekaragaman dan sinergi.

Dengan demikian, negara-bangsa Indonesia kita tetap berdiri dan harapannya bahwa kita menjadi model yang bertenaga dalam merajut Indonesia menjadi kekitaan.

Dan jika kita mengidap amnesia akut akan signifikansi penghargaan terhadap keberagaman maka kita harus malu pada tembok bisu yang lebih cerdas dan sadar bahwa kekuatan dan keagungan lahir dari keberagaman yang bertenaga bukan dari keseragaman yang rapuh.

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v

Visitor