Tulisan Ku
Berkat Melimpah
“Saya belajar bahwa… sikap memaafkan tidak membenarkan apa yang dia
lakukan dan ini bukan tentang dia – ini tentang memaafkan dia, memaafkan
diri saya sendiri, sikap ini memampukan saya untuk berlangkah maju dan
tidak stuck dalam tragedi malam itu.”
Kata-kata di atas dituturkan Carmen Blandin Tarleton, 44 tahun, dalam acara news conference di
Brigham and Woman Hospital, Boston, Amerika Serikat 1 Mei 2013 lalu.
Acara itu digelar setelah proses bedah transplantasi wajah terhadapnya
sukses dijalankan tim dokter di rumah sakit itu.
‘Dia’ yang disebut Tarleton dalam tuturan di atas adalah bekas
suaminya, Herbert Rodgers. Sementara, tragedi yang ia maksudkan adalah
kekerasan mengerikan yang dilakukan Herbert Rodgers terhadapnya enam
tahun silam, yang telah membawanya pada operasi pencangkokan wajah pada
bulan Februari 2013 di Brigham and Woman Hospital.
Serangan brutal
Tragedi itu terjadi malam 10 Juni 2007. Tanpa diduga-duga, Herbert
Rodgers, suami kedua Tarleton yang saat itu sudah pisah rumah dengannya,
masuk rumah Tarleton di Thetford, Vermont dengan menjebol pintu
belakang rumah. Menurut keterangan polisi kemudian, Rodgers melakukan
itu karena menduga, Tarleton sedang bertemu pria lain di rumahnya.
Rodgers berniat menemukan dan menyerang pria itu.
Tak jumpa yang diburu, Rodgers pun mendobrak kamar mandi tempat
Tarleton bersembunyi bersama Liza dan Hannah, dua putrinya dari
pernikahan pertama. Ia menyeret Tarleton ke dalam kamar tidurnya, lalu
memukulnya tanpa ampun dengan tongkat bisbol hingga kepala perempuan itu
berlumur darah dan lengan kirinya patah. Rodgers tak puas. Ia
memperkosa Tarleton, lalu menyemprot nyaris seluruh tubuh perempuan
malang itu dengan cairan alkali dari botol semprot.
Polisi yang datang ke tempat kejadian setelah mendapat panggilan
darurat dari Liza dan Hannah berhasil menghentikan aksi brutal Rodgers.
Saat membekuk pria itu, ia menyaksikan Tarleton merangkak di lantai
kamar tidur dengan wajah rusak parah dan sekujur tubuh terbakar cairan
alkali. Lebih dari 80 persen tubuh Tarleton tertutup luka. Tak cuma itu,
akibat semprotan cairan alkali, telinga kirinya habis terbakar, ujung
hidung hancur, selaput mata meleleh keluar.
Sungguh malang nasib Tarleton. Ia jadi buta, wajahnya bagai hantu.
Para dokter yang pertama kali menolongnya menyebut luka-lukanya the most horrific injury a human being could suffer.
Beberapa perawat yang ditugaskan merawatnya minta dipindahkan karena
tak tahan. Belakangan penyiar televisi mengatakan kepada pemirsa bahwa
gambar wajahnya sebaiknya tidak ditonton anak-anak.
Atas kejahatannya, Rodgers dijatuhi hukuman penjara selama 30 tahun
lebih. Adapun, Tarleton mesti menjalani hidup yang tidak seperti dulu
lagi. Ia harus menghabiskan banyak waktu dan upaya untuk memulihkan
diri. Dan seberapa pun upaya yang dilakukan, ia harus siap menanggung
cacat sepanjang hayat.
Cangkok wajah
Tahun-tahun berikutnya adalah masa rehabilitasi bagi Tarleton. Ia
menjalani total 55 kali operasi, termasuk 38 operasi saat dirinya
terbaring koma selama tiga setengah bulan di rumah sakit. Puluhan
operasi tentu banyak mengurangi kerusakan dan penderitaan. Akan tetapi,
ia tetap saja buta, berwajah mengerikan, mengalami kesakitan permanen
pada bagian leher, dan tidak dapat menggerakkan lehernya.
Tarleton memerlukan upaya medis lain untuk membuat kondisinya lebih
baik. Ia pun berpikir untuk menjalani operasi transplantasi wajah. Tak
heran kalau Tarleton melihat kemungkinan itu sebagai jalan keluar. Ia
sendiri, sebelum menjadi korban kebrutalan Rodgers, bekerja sebagai
perawat pada bagian transplantasi di beberapa rumah sakit.
Ia lalu menemui dr. Bohdan Pomahac, Direktur Bedah Transplantasi di
Brigham and Woman Hospital, untuk membicarakan manfaat dan resiko
transplantasi wajah bagi dirinya. Setelah menimbang, ia memutuskan untuk
menjalani operasi cangkok wajah. Keputusan itu kemudian disetujui pihak
rumah sakit pada bulan Desember 2011.
Namun, Tarleton harus menunggu lama untuk bisa menjalani operasi.
Baru pada bulan Februari 2013 ia mendapatkan pendonor wajah yang
dibutuhkannya. Adalah almarhum Cheryl Denelli Righter, janda 56 tahun
yang meninggal akibat stroke pada 13 Februari 2013, yang menjadi
pendonor wajah baginya. Hal ini terjadi berkat persetujuan keluarga,
terutama Miranda Righter, anak Cheryl Denelli Righter satu-satunya.
Bukan tanpa alasan Miranda Righter merelakan wajah ibunya
dicangkokkan pada Tarleton. Meski tidak mengungkapkan niat mendonasikan
wajahnya (facial tissue donor), Cheryl Denelli Righter, sebelum meninggal, menyampaikan keinginannya menjadi pendonor organ (organ donor)
– tercatat empat pasien yang kemudian menerima organ miliknya. Selain
itu, Cheryl Denelli Righter sendiri semasa hidup adalah seorang yang
sangat murah hati. Ia dilukiskan Miranda sebagai wanita yang sepi ing pamrih. “She gave and gave and gave. It was who she was,” ungkap Miranda. Donasi wajah bagi Tarleton sejalan dengan altruisme ibunya itu.
Berkat kemurahan hati keluarga Righter, Tarleton akhirnya bisa menjalani operasi transplantasi wajah. Pada acara news conference ia
mengungkapkan terima kasihnya untuk hadiah luar biasa yang telah
diterimanya dari keluarga Righter itu. Ia juga mengatakan, “Saya telah
menempuh perjalanan yang luar biasa selama enam tahun terakhir, dan
hadiah yang indah ini mengakhiri kisah perjalanan yang luar biasa itu.
Sungguh sebuah pengalaman berarti untuk berlangkah maju dengan kehidupan
yang sekarang saya miliki.”
Operasi transplantasi itu memang sungguh berarti bagi pemulihan
Tarleton. Jaringan wajah dan leher baru kini menutup muka dan lehernya
yang rusak dibakar alkali. Meski mata kanan tetap buta, kini ia memiliki
penglihatan terbatas dengan mata kirinya. Rasa sakit di leher sudah
jauh berkurang. Ia juga bisa menggerakkan lehernya lagi. “Hari ini saya
merasa jauh lebih nyaman dibandingkan hari-hari sebelumnya selama enam
tahun terakhir,” kata Tarleton.
Life is a choice
Mengalami kekerasan demikian brutal serta begitu banyak kehilangan
tentu membuat Tarleton marah dan getir. Itu reaksi yang wajar terhadap
kenyataan yang sungguh tak wajar yang dialaminya. Namun, Tarleton tidak
larut dalam amarah dan kegetiran. Ia bangkit dari situasi katastropik.
Life is a choice. Kata-kata ini, yang terus muncul dalam benak
Tarleton saat ia masih berbaring di rumah sakit dalam rangka menjalani
serangkaian operasi, memberinya kekuatan untuk tidak membiarkan sisa
hidupnya tersandera pengalaman pahit masa lalu. Ia memilih menyelamatkan
sisa hidupnya yang terbentang di depan.
Dengan sikap itu, Tarleton tidak saja mampu mengatasi kegetiran dan
amarah, tetapi juga menjadi begitu terbuka dan tersentuh oleh banyak
kebaikan yang dialaminya selama proses pemulihan, seperti dukungan
sepenuh hati dari anggota keluarga serta tim medis rumah sakit,
kepedulian berbagai pihak berupa donasi finansial, juga kemurahan hati
keluarga Righter. Selain itu, ia juga jadi mampu untuk satu hal yang tak
mudah, yakni memaafkan Herbert Rodgers. Semua ini sangat berarti bagi
pemulihan Tarleton secara mental dan emosional. Ia sendiri mengakui
bahwa kini ia merasa sungguh terberkati. “I’m so much more blessed than I was before the attact.”
Kisah Tarleton adalah satu contoh untuk kata-kata Viktor Frankl, seorang survivor holocaust
dan pelopor logoterapi dalam bidang psikologi, bahwa apapun dapat
diambil dari seseorang, kecuali satu hal: kebebasannya menentukan sikap
atas situasi apapun yang dialaminya atau yang menimpanya. Kebebasan yang
satu inilah yang memampukan Tarleton berjalan tegak ke depan, meski
sudah kehilangan begitu banyak karena ulah manusia bernama Rodgers.
Tarleton pun jadi inspirasi bahwa kemenangan bisa dibangun di atas
tragedi, kebangkitan di atas puing-puing kemalangan. Ia juga sebuah
peringatan bagi para pria, para suami khususnya: Don’t try this (Rodgers’ bad conduct) at home!
Salam,
AntoniusPSK
Salam,
AntoniusPSK
0 comments:
Post a Comment
Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v