FRANCO !!!


Kalau suatu saat ke Vatikan, saya akan sangat berhati-hati di sebuah tempat yang kerap disebut kawasan Metro. Di sana, beberapa anak buah Franco berdiri, menawarkan paket tur keliling Vatican City dan meminta jumlah uang yang cukup besar untuk tur tersebut. Isi paket tur kota itu adalah sesuatu yang dahsyat untuk orang Katolik sejak lama dan penggemar sejarah seperti saya. Mengunjungi kapel Sistine, melihat pentas Gladiator bahkan jika beruntung bisa minum teh bersama Sri Paus, kesempatan sekali seumur hidup.

Lalu mengapa saya harus berhati-hati dengan tawaran dari tour guide para anak buah Franco itu? National Geographic Chanel (NGC) beberapa waktu lalu dalam satu episode Scam City, menelusuri penipuan oleh para agen wisata di Vatikan, di kota tempat jutaan orang datang setiap tahunnya, tempat ribuan orang berkunjung setiap hari. Conor Woodman demikian nama jurnalis yang melakukan investigasi. Menggunakan berbagai peralatan, termasuk kamera kancing baju, Conor bersama timnya berhasil menangkap geliat penipuan berkedok pariwisata di kota itu.

Di Roma, hanya sedikit jumlah agen wisata yang resmi terdaftar di Pemerintah. Wilayah kekuasaan mereka juga mencakup kota suci Vatikan. Tetapi di kota itu, jumlah tour guide-nya sangat banyak dan sebagian besar adalah mereka yang tidak terdaftar sebagai organisasi agen wisata resmi. Salah satu dan yang paling besar adalah yang dijalankan oleh Franco, seorang mantan gladiator yang pernah dipenjara karena sebuah kejahatan dan setelah bebas lalu membangun jaringan bisnis ‘unofficial‘ termasuk pertunjukan gladiator.

Anak buahnya tersebar di seluruh Vatikan, menguasai tempat bernama metro dan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan tamu yang ‘bisa ditipu’ berkeliling Vatikan. Mereka bersaing dengan agen wisata resmi yang terlampau santun; hasilnya bisa ditebak, anak buah Franco lebih berkuasa dan mendapatkan banyak uang. Di Indonesia, kita pasti akan menyebut mereka calo. Ya, di negeri ini juga ada banyak Franco, tokoh yang oleh berbagai kalangan akan disebut sebagai “You know who!” tetapi tidak untuk dibicarakan. Bahkan seorang polisi di Vatikan malah berkelit ketika Conor Woodman menyebut nama: Franco. “No Comment,” kata Pak Polisi.

Sampai akhir tayangan Scam City: Spies at the Vatican, Franco tidak muncul di layar televisi. Di bagian akhir dia mau bertemu Conor untuk berbagi cerita, tetapi tidak ingin direkam. Franco menjadi tokoh yang hanya muncul dalam narasi dan bukan dalam suara atau gambar. Conor bercerita, menurut Franco, “Bisnis seperti itu akan terus dijalankan sampai ada regulasi yang jelas dari pemerintah tentang pengaturan agen wisata!” Setelah penayangan, muncul perubahan regulasi di Roma, termasuk meniadakan pertunjukan gladiator, tetapi bisnis mencari tamu dengan konsep ‘menipu’ mereka tetap berjalan dan Franco setia menjadi Man Behind The Scene.

Akibatnya jelas, agen wisata resmi yang bekerja berdasarkan regulasi, yang mengutamakan kenyamanan para tamu dengan menawarkan paket yang jujur tersingkir. Mereka kalah bodi dari anak buah Franco. Ribuan tamu juga dipaksa membayar tur yang tidak jelas dan tidak jadi minum teh dengan Paus, mereka pulang dengan cerita buruk tentang Vatikan. Akibat lain? Negara tidak mendapatkan apapun dari para wisatawan karena uangnya telah jatuh ke orang per orang yang tidak terdaftar sebagai agen wisata resmi dan tidak mendapat jatah pungutan pajak. Negara rugi, meski jutaan orang tetap berdatangan ke Vatikan, termasuk saya suatu kelak.

Menarik tentu saja untuk melihat bagaimana para Franco di tiap tempat wisata di Indonesia beraksi. Saya pernah berbincang-bincang dengan turis asal Belgia di Labuan Bajo pada suatu kesempatan, beberapa waktu sebelum Komodo terpilih sebagai salah satu dari New7Wonders dunia. Dia mengeluhkan mahalnya biaya transportasi dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo yang sangat mahal. Beberapa waktu lalu, penyedia jasa transportasi penyeberangan dari Labuan Bajo ke pulau-pulau di sekitarnya dikuasai oleh pemilik perahu dan tanpa ada pengawasan dari pemerintah. Maka demikianlah, seorang nelayan kaya mengalihfungsikan perahu motor penangkap ikannya menjadi alat transportasi pariwisata. Pendapatannya lebih besar karena ditentukan sendiri dan kewajiban membayar pajaknya tetap sebagai seorang nelayan.

Setelahnya, saya ngobrol dengan pemandu turis lokal. Dia bilang, selama pemerintah tidak mengeluarkan regulasi yang jelas, praktek seperti itu akan tetap ada di Labuan Bajo. Ini baru satu hal. Hal lain adalah harga makanan di beberapa restoran yang juga tidak berstandar jelas, demikian pun penginapan. Akibatnya, sebagian wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo memilih menginap di Sape atau Bima NTB, dengan alasan jauh lebih memuaskan dan tidak merasa ditipu dan memulai trip ke Komodo dari sana. Manggarai Barat tidak mendapatkan pungutan cukup hanya berharap pada entrance fee di lokasi-lokasi wisata.

Saya juga pernah ke Gunung Bromo dan harus merelakan sejumlah uang pada proses tawar menawar yang tidak seimbang untuk angkutan, beberapa topi dingin, beberapa gelas teh dan kuda. Tentu saja tidak akan jadi masalah ketika uang itu masuk sebagian ke kantong negara. Kekhawatiran saya adalah semuanya menjadi milik Franco dan negara hanya bisa bilang, “Kau tahulah…!” Bukankah menggelikan, ketika situasi Franco menjadi sangat berkuasa lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan negara menyiapkan regulasi daripada kemauan Franco menjadi mafia? Sasaran empuknya adalah para turis yang datang tanpa agen perjalanan wisata, sebagian besar adalah backpacker yang mau berhemat; jumlah mereka banyak. Kasian mereka. Maka, regulasi tentang pariwisata menjadi penting terutama di negeri yang indah dan elok ini; atau menyerahkan sepenuhnya ke pria bernama Franco!

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v

Visitor