Bola Mata dari Papua

“Apa yang terbesit pertama dalam benak kita ketika mendengar kata Papua? Kebanyakan orang menanggapi pertanyaan ini dengan jawaban hutan, gunung, emas, dan tambang. Mengapa tidak menjawab pertanyaan itu dengan menggambarkan manusia Papua yang hitam, keriting, tinggi, besar, berhidung mancung? Atau dengan gambaran lain tentang manusia Papua?”

Ini merupakan penggalan percakapan ketika aku pertama kali bertemu dengan orang hebat dari Jogja, George Junus Aditjondro, empat tahun yang lalu. George mengucapkan berapa kalimat itu untuk menanggapi jawaban kami yang ‘biasa-biasa saja’ atas pertanyaannya tentang keadaan Papua saat itu. Aku benar-benar terkesan siang itu. Momen itu masih jelas dalam benakku ketika mencoba memandang berbagai persoalan di Papua.

Tidak sedikit orang Indonesia maupun orang luar Indonesia yang peduli dengan persoalan Papua. Akan tetapi, apakah keinginan orang Papua menjadi keinginan semua orang yang peduli dengan orang Papua? Banyak lembaga, dari dalam maupun luar negeri, yang peduli pada persoalan Papua telah lama berupaya menyelesaikan berbagai persoalan di sana. Namun, entah kenapa, masalah di bumi Cenderawasih itu tak kunjung selesai.

Aku ingat protes mahasiswa Papua di Jakarta terhadap sebuah buku yang diluncurkan pada perayaan 50 tahun Universitas Atma Jaya, Jakarta. Beberapa doktor dari universitas itu baru saja menyelesaikan riset di Papua dan membukukan hasil penelitian mereka itu. Sepertinya momentum ulang tahun emas merupakan saat yang tepat untuk peluncuran buku tersebut.

Salah satu poin protes para mahasiswa adalah terkait makna tanah bagi orang Papua. Dalam buku mereka, para peneliti menyimpulkan bahwa orang Papua memaknai tanah sebagai perempuan. Mahasiswa Papua berpendapat lain. Mereka menyatakan bahwa tanah bagi orang Papua adalah Mama (Ibu). Mama (Ibu) adalah sosok yang melahirkan, menjaga, membesarkan, dan memelihara anaknya. Sedangkan, tidak semua perempuan adalah Mama (Ibu). Adapula perempuan yang jadi pelacur.

Orang datang ke Papua dan kembali ke Jakarta untuk bercerita tentang Papua. Kita menemukan cerita itu dan jadi mengerti tentang persoalan Papua. Tetapi, apakah kita sungguh mengerti persoalan orang Papua? Apakah si pencerita menyuguhi apa yang benar-benar ada dalam benak orang Papua? Latar balakang dan sejarah hidup kita sangat memengaruhi bagaimana kita memandang sesuatu. Begitu juga dengan orang Papua. Itu alasan mengapa aku lebih memilih untuk mempersilakan orang Papua bercerita tentang persoalan Papua daripada aku tampil menjelaskannya dalam setiap kesempatan diskusi dengan beberapa kawan.

Lama sekali negeri ini kurang sadar akan keberadaan manusia di Papua. Orang lebih sadar akan emas, tambang, hutan dan gunung-gunung yang indah di sana. Pembangunan persepsi tentang manusia Papua tidak berjalan seiring dengan pembangunan infrastruktur dan eksploitasi hasil bumi di sana. Ini membuat persoalan konflik Papua semakin mengakar. Orang cenderung beranggapan, kulit hitam dan rambut keriting itu jelek atau tidak lebih baik daripada kulit putih atau sawo matang serta rambut lurus dan ikal.

Orang Papua memandang penentuan sikap politik mereka sebagai perwujudan dari hak politik setiap manusia yang diatur dalam konvensi internasional. Sedangkan, Pemerintah Indonesia memandang hal itu sebagai tindakan disintegrasi atau yang lebih populer dengan istilah gerakan separatis. Tarikan panjang ke belakang akan dijabarkan seorang Papua tentang tindakan menentukan sikap politik dia. Mulai dari sejarah PEPERA 1963 sampai ke kenyataan buruk pembangunan manusia Papua dalam bantuan Pemerintah Indonesia. Akan berat bagi seorang yang begitu mencintai NKRI untuk memandang persoalan ini dengan cara pandang orang Papua. Tetapi, seorang Indonesia yang mau menelusuri sejarah bergabungnya Papua Barat ke Indonesia dan persoalan pembangunan manusia Papua selama ini akan lebih mudah memahami keinginan orang Papua ini.

Aku selalu mendengar jargon “I Love Papua”. Orang Indonesia sering dengan bangga mengucapkannya. Akan tetapi, apa yang dicintai dari Papua? Hutan, gunung, laut, ataukah emasnya? Atau, manusianya? Aku jadi ingat, seorang kawan yang sering berdiskusi denganku tentang Papua kerap mengatakan, “Selain dilahirkan sebagai seorang Maluku, beta hanya mau dilahirkan sebagai seorang Papua.” Pernyataan yang, hemat saya, sangat dalam tentang bagaimana seseorang melihat manusia Papua.

Berbagai perbedaan pandangan memelihara konflik di tanah kaya ini. Bagaimana kita memandang Papua dan bagaimana kita memandang persoalan di sana menentukan sikap kita terhadap berbagai persoalan di Papua. Aku sendiri lebih memilih memandang persoalan di Papua dengan perspektif Papua. Alasannya adalah rasa hormat: rasa hormat pada manusia Papua yang cenderung termarginalisasi dalam proyek pembangunan Pemerintah Indonesia serta rasa hormat pada manusia Papua yang merupakan pemilik tanah Papua.

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v

Visitor