Baca atau Tonton ?

“Sebaiknya duluan mana: baca bukunya atau tonton versi filmnya?” Pertanyaan ini dilontarkan seorang kawan setelah saya bercerita bahwa saya baru saja mulai membaca novel Les Miserables karya Victor Hugo. Kawan tadi belum pernah membaca Les Miserables, tapi sudah menonton versi filmnya. Sementara saya sendiri belum pernah menonton filmnya.

Pertanyaan kawan tadi membawa ingatan saya jauh ke masa silam. Saat masih di bangku SD, saya membaca sebuah buku tentang pemberontakan PKI tahun 1965. Saya tak ingat lagi, sedang duduk di kelas berapa saya saat itu. Buku yang saya pinjam dari sekolah itu saya baca dengan penuh gairah setelah menyelesaikan tugas harian di rumah.

Kisah penculikan tujuh perwira Angkatan Darat serta penganiayaan terhadap para perwira itu oleh orang-orang PKI di Lubang Buaya benar-benar mengaduk emosi saya. Rangkaian peristiwa keji yang dikisahkan buku itu spontan memunculkan dalam benak sejumlah gambar terkait peristiwa yang dikisahkan. Rentetan kata dan kalimat yang saya baca dengan sendirinya merangsang pikiran untuk membuat visualisasi.

Pikiran yang terus berimajinasi saat mata membaca teks membuat saya tenggelam dalam bacaan. Tegang sekaligus nikmat. Gambar-gambar yang tercipta bebas dan liar dalam benak sedikit terdistorsi oleh satu dua foto atau gambar ilustrasi pelengkap teks. Akan tetapi, secara keseluruhan saya begitu menikmati imaginasi saya sendiri terkait kisah yang sedang saya baca.

Entah berapa lama setelah saya membaca buku itu, SD saya dan sejumlah SD lain di pusat kecamatan tempat saya tinggal mendapat kesempatan menonton film G30S PKI secara gratis di bioskop. Seingat saya, acara itu diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Pendidikan Nasional) tingkat kecamatan. Senang sekali saya waktu itu. Sudah dapat kesempatan tonton film di bioskop, film G30S PKI pula.

Menjelang pemutaran film saya berusaha mengingat kembali kisah yang sudah saya baca. Gambar-gambar yang terbentuk saat membaca buku itu muncul kembali. Saya pun merasa siap menikmati film yang menurut dugaan saya bakal lebih seru dari kisah dalam buku itu.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan semangat “empat lima” saya masuk bioskop bersama ratusan murid lain dari sejumlah SD. Hawa panas dalam bioskop – film diputar siang hari dan tak ada AC – tidak melemahkan semangat untuk menonton.

Namun, dugaan saya ternyata salah. Film itu datar-datar saja, juga pada momen-momen yang saya rasakan paling menegangkan ketika membaca kisahnya di buku. Gambaran dalam benak saya mengenai kekejian di Lubang Buaya, misalnya, tidak saya saksikan dalam film itu. Imaginasi saya lebih seru dan dramatis dari apa yang tampak dalam film. Alhasil, pemutaran film usai, saya pulang dengan rasa tak puas plus baju yang basah di sana-sini oleh keringat.

Hal serupa saya rasakan berapa tahun lalu ketika menyaksikan film Da Vinci Code, yang diangkat dari novel thriller Da Vincie Code karya Dan Brown. Sebelum menonton film yang dibintangi Tom Hanks itu, saya membaca Da Vinci Code dua kali. Tak cukup sekali karena sungguh menegangkan sekaligus nikmat mengikuti bab demi bab rekaan Dan Brown itu.

Seperti yang terjadi ketika SD dulu, kepuasan usai membaca novel Da Vinci Code tidak saya rasakan usai menonton versi filmnya. Isi novel Da Vinci Code terasa cuma separuh dikisahkan dalam film. Dan lagi-lagi, imaginasi saya saat membaca novel ini lebih seru dan dramatis ketimbang gambar yang saya saksikan di filmnya. Dapat saya katakan, film Da Vinci Code adalah versi degradatif dari buku Da Vinci Code.

Dua pengalaman serupa di atas saya ceritakan pada teman yang bertanya tadi. Dua cerita itu adalah jawaban atas pertanyaannya. Ia mafhum. “Lalu, apa yang terjadi kalau tonton versi film dulu baru baca bukunya?” Giliran saya bertanya pada kawan saya. Setelah berpikir sebentar ia memberi jawaban. “Imaginasi kita saat membaca buku dibatasi oleh gambar-gambar yang sudah kita saksikan dalam versi filmnya.” Ia mengaku pernah mengalami sendiri hal itu. Selama membaca sebuah novel, pikirannya selalu memunculkan gambar-gambar yang pernah ia saksikan dalam versi filmnya.

“Kalau begitu, baca dulu bukunya baru saksikan versi filmnya atau sebaliknya tonton versi filmnya dulu baru baca bukunya? Atau pilih salah satu saja, entah buku atau film?” Kembali saya bertanya pada kawan saya. “Andaikata sebuah film diadaptasi dari buku, novel misalnya, masukkan film itu ke dalam laci lalu cari bukunya. Baca bukunya dulu baru tonton versi filmnya. Usai membaca bukunya, jangan lupa menyaksikan filmnya. Bagaimanapun, film tetap perlu ditonton, meski yang ditayangkan terasa separuh dari yang kita baca dalam buku.” Begitu jawaban sekaligus saran kawan saya.

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v

Visitor