Internet Murah dan Balon Google Untuk Daerah Tertinggal

Di akun Google+ miliknya pada tanggal 12 April 2013 Executive Chairman Google, Eric Schmidt, memprediksikan bahwa pada tahun 2020 seluruh warga dunia sudah bisa terkoneksi ke internet. “For every person online, there are two who are not. By the end of the decade, everyone on earth will be connected.”

Optimisme Schmidt itu enak didengar, tapi tampaknya jauh panggang dari api. Mungkinkah dalam waktu tujuh tahun internet sudah bisa dinikmati juga oleh mereka yang kini hidup di wilayah-wilayah terpencil tanpa akses teknologi informasi, atau mereka yang masih jungkir balik dengan urusan yang jauh lebih mendasar, seperti makanan atau air bersih? “Omong kosong apa ini! Ada 1 miliar orang yang belum terkoneksi ke makanan.” Begitu satu tanggapan terhadap Schmidt di Google+.

Tapi, tunggu dulu. eksekutif perusahaan mesin pencari itu tidak asal omong saat mengabarkan optimismenya. Ia tidak mengesampingkan kemiskinan dan ketertinggalan di berbagai belahan dunia dalam prediksinya itu.

Ketika Schmidt menulis prediksinya di Google+, sebuah proyek besar tengah dikerjakan tim Google di lab riset rahasia bernama Google[x] - Google Car (driverless car) dan Google Glass adalah dua produk teknologi yang telah diluncurkan divisi riset Google ini. Proyek klandestin itu telah berjalan sejak 2011 dan bertujuan menyediakan akses internet bagi dua pertiga populasi dunia yang hingga kini belum terjangkau layanan internet.

Ketiadaan akses internet yang umumnya terjadi di banyak tempat di belahan bumi bagian selatan itu disebabkan beberapa hal. Di blog resminya Google menyebut kendala geografis dan rendahnya pendapatan sebagai sebab. Hutan, gunung, dan kepulauan adalah beberapa kendala geografis yang menyulitkan pemerataan akses internet. Pemerataan mungkin saja dilakukan. Akan tetapi, hal itu niscaya menelan biaya yang sangat besar dan pada akhirnya membuat harga layanan internet sulit dijangkau semua lapisan masyarakat, lebih-lebih yang berpendapatan rendah.

Google[x], yang mendapat mandat untuk menyemai ide-ide besar demi kemanusiaan dan mentransformasi ide-ide itu jadi kenyataan, punya solusi untuk masalah itu. Dan, solusi Google[x] adalah sebuah terobosan: meluncurkan armada balon pemancar internet (internet-beaming balloons) ke udara yang akan membawa koneksi internet murah ke wilayah-wilayah yang terpencil dan tertinggal, yang belum terjangkau internet. Balon-balon itu juga nantinya bisa diarahkan ke wilayah yang dilanda bencana alam sehingga wilayah itu bisa terkoneksi (kembali) ke internet.

Proyek Google yang diberi nama Project Loon itu secara resmi diluncurkan di Christchurch, Selandia Baru pada tanggal 13 Juni 2013 lalu, dua bulan setelah Schmidt menulis prediksinya. Peluncuran ditandai pelepasan 30 balon ke langit Christchurch, tepatnya ke lapisan stratosfer pada ketinggian 20 km atau dua kali ketinggian terbang pesawat, tapi masih jauh di bawah jalur orbit satelit.

Tiap-tiap balon (berdiameter 15 m dan berisi gas helium pengangkat balon) dilengkapi panel surya dan kotak peralatan elektronik. Siang hari panel ini tidak saja menghasilkan listrik tenaga surya sebesar 100 watt untuk menghidupkan peralatan elektronik di balon, tapi juga men-charge baterei yang berfungsi sebagai pemasok listrik pada malam hari. Sementara, kotak peralatan elektronik berisi papan sirkuit pengontrol sistem, baterei, beberapa antene yang dilengkapi teknologi frekuensi radio khusus, dan GPS yang memungkinkan teknisi Google memonitor lokasi balon di udara.

Antene di setiap balon memungkinkan komunikasi balon dengan balon, balon dengan jaringan stasiun di darat yang terhubung ke internet service provider (ISP), dan balon dengan antene pengguna internet. Jadi, dengan antene itu balon bisa menangkap sinyal internet dari ISP di darat. Sinyal internet yang diterima akan diteruskan dari satu balon ke balon lain. Oleh tiap-tiap balon sinyal lalu dipancarkan ke darat dan ditangkap pengguna dengan antene khusus buatan Google yang dipasang di atap rumah. Sinyal internet dari masing-masing balon itu menjangkau luas daratan dengan diameter 40 km dan dipancarkan dengan kecepatan setara 3D, bahkan bisa lebih cepat.

Meski berada jauh di ketinggian 20 km, gerak dan posisi setiap balon selalu dalam kendali tim Google di darat. Ini terjadi tidak saja karena arus angin stratosferik relatif stabil dan lambat, tapi juga karena Project Loon menggunakan algoritma yang kompleks dan kekuatan komputasi yang besar untuk mengendalikan balon-balon itu. Dengan dukungan algoritma dan kekuatan komputasi tersebut, tim Google di darat dapat menggerakkan setiap balon, ke atas atau ke bawah, ke lapisan arus angin yang bertiup dalam arah yang sesuai keinginan. Dengan cara itu, gerak dan posisi setiap balon selalu dapat dikendalikan atau digerakkan seturut kebutuhan di darat. (Silahkan lihat video di atas).

Peluncuran Project Loon di Selandia Baru 15 Juni lalu adalah permulaan dari serangkaian uji coba yang akan dilakukan Google tahun ini. Setelah melepas 30 balon ke langit Christchurch untuk waktu yang tidak terlalu lama, Google akan meluncurkan 300 atau 400 balon di garis lintang yang sama dengan garis lintang Selandia Baru dan akan mengarahkan ratusan balon itu untuk bergerak dari barat ke timur melintasi Australia, Chile, Argentina, dan Afrika Selatan.

Serangkaian uji coba itu mengawali realisasi rencana besar Google untuk melepas ribuan balon ke stratosfer yang akan terus bergerak mengitari bumi dengan memanfaatkan arus angin di stratosfer. Misi utama Google dengan membentuk a ring of balloons itu adalah menghapus tempat atau wilayah tanpa akses internet dari peta bumi, atau dengan kata lain menghubungkan seluruh sudut bola dunia secara online.

Sukseskah Google menghubungkan seantero bumi secara online pada akhir dekade ini, sebagaimana diprediksi Eric Schmidt di atas? Entahlah. Tapi, Google tentu bertekad untuk berhasil dalam apa yang dirintisnya saat ini. Hal itu tidak saja didasari kepedulian pada sebagian warga dunia yang hidup tanpa akses internet, tapi juga prospek keuntungan dari peningkatan iklan manakala seluruh sudut bumi terkoneksi ke internet. Dan, waktu tujuh tahun, menurut saya, cukup bagi Google untuk mewujudkan misinya itu, kendati belum tentu semua orang pada tahun 2020 mampu menikmati koneksi internet yang telah tersedia di mana-mana dan, sebagaimana dikatakan Google, terjangkau harganya.

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v

Visitor