Kenyataan
Terjepit di Antara Dua Daging
Saya harus tuntas dengan masalah kedagingan saya, kata seorang
pengacara kondang, ketika ditanya soal kiat menghindari jebakan
kenikmatan, yang senantiasa siap merobek setiap inci pertahanan diri.
Kedagingan yang dimaksud pengacara tadi, segala godaan duniawi yang
terus menggedor hawa nafsu. Entah berupa kekuasaan, tumpukan harta
hingga para perempuan pereda gejolak syahwat.
Si pengacara – sebut saja namanya Panji – tidak menampik dunia yang digelutinya penuh dengan perangkap kenikmatan, yang bila tidak disikapi dengan bijak akan membawa petaka. Menurut Panji, ia pernah disodori uang, dari ratusan hingga miliaran rupiah, agar ia mengurungkan niatnya membela sebuah perkara pelanggaran HAM berat yang melibatkan seorang pejabat negara. Ia juga pernah dikasih mobil Mercy seri mutakhir. Di lain waktu, ia bahkan pernah ditawari teman tidur seorang perempuan cantik. Semacam gratifikasi seks.
Saya mengenal Panji semasa kuliah dulu. Kami sama-sama aktivis mahasiswa. Saya menjadi aktivis di sebuah komunitas yang penuh dengan wacana high politics, yang selalu menabur mimpi di atas angin. Saya harus menjadi pejabat negara atau anggota dewan di Senayan, begitu kerap saya menimbun mimpi. Sementara Panji justru memilih bergumul dengan dunia orang kecil, orang-orang terpinggirkan, yang suaranya terdengar sayup di tengah kebisingan kota dan keriuhan lalu lintas kata di pusat keramaian kekuasaan.
Dalam setiap perjumpaan kami, ia begitu getol membela orang-orang kecil, yang hak-haknya dirampas negara. Di tengah kami, Panji memang dikenal sebagai juru bicara komunitas kaum marginal yang gagap dan gugup menyuarakan keinginan di bawah gertakan wajah kekuasaan yang beringas. Sementara saya sendiri terus menerus merajut mimpi-mimpi indah membangun dunia borjuasi. Meski hingga kini mimpi saya tetap saja tak bertepi kenyataan.
Dunia orang kecil ini pula yang dipilih Panji selepas kuliah. Ia bergabung di YLBHI, sebuah lembaga hukum di Jakarta yang membela hak-hak orang kecil, yang tak mampu membayar pengacara bertarif tinggi. Seiringan dengan perjalanan waktu, Panji tampil sebagai pengacara kasus pelanggaran HAM yang disegani. Ia membela kasus-kasus HAM berat dari Aceh, Timtim hingga Papua. Bahkan, kasus terorisme pun pernah dibelanya. Saya membela hak, bukan perbuatannya, kata Panji, suatu ketika, menangkis gugatan saya.
Hingga kini Panji mampu menepis setiap godaan kedagingan. Terakhir kali saya bertemu ia masih mengendarai mobil Ferosa kusam. Entah kapan dibelinya. Mungkin juga mobil bekas. Maklum Panji seorang pengacara yang membela kasus-kasus besar, namun kering uang. Orang kecil, itu passion saya, ujar Panji seolah mau menegaskan kembali komitmen semasa mahasiswa dulu.
Berbeda dengan Panji, para selebritas politik kita saat ini ternyata banyak yang tak mampu membendung serbuan kedagingan. Keinginan untuk punya rumah mentereng di kawasan elite, tabungan miliaran rupiah, merasakan empuknya Ferrari, makan malam di hotel bintang lima, pelesiran ke mancanegara, mengencani perempuan cantik, dan masih banyak lagi kemewahan lain terus menerus menggoda pikiran. Walhasil, banyak politisi kita yang terbelit kasus korupsi. Tak susah mencari contoh politisi yang tergoda rayuan kedagingan. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin semisal. Ia mendekam dalam penjara, karena terlibat korupsi di sejumlah proyek. Rekan separtai Nazaruddin, Angelina Sondakh pun demikian. Wakil Sekjen Partai Demokrat itu divonis 4,5 tahun penjara, karena ia mengorupsi puluhan miliar rupiah dari sejumlah proyek di beberapa kementerian.
Contoh lain, politikus PAN Wa Ode Nurhayati. Semula Wa Ode mengesankan diri sebagai whistle blower, peniup peluit yang memberi sinyal adanya praktik kotor di Banggar DPR. Namun di Pengadilan Tipikor majelis hakim membuktikan Wa Ode bukan seorang malaikat pembawa suara kebenaran dari surga. Karena itu, Wa Ode pun diganjar hukuman penjara. Sebelum Wa Ode, politikus dari PKS Muhammad Misbakhun juga tersandung kenikmatan kedagingan. Ia pun merasakan hidup di balik jeruji besi.
Persoalan kedagingan juga menyelusup masuk ke markas partai dakwah, PKS. Senin (4/2) jelang tengah malam publik di Tanah Air dikejutkan dengan kabar penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh penyidik KPK. Luthfi ditangkap, karena diduga menerima suap impor daging sapi dari PT Indoguna Utama. Tak tanggung-tanggung, Luthfi akan mendapat jatah suap sebesar Rp 40 miliar.
Sebetulnya, jauh sebelum kasus ini merebak di tengah masyarakat, salah satu pendiri PKS Yusuf Supendi sudah bersuara lantang. Pada Maret tahun lalu Supendi menuding Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminudin, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dan Sekjen PKS Anis Matta terlibat korupsi. Karena itu, ia berharap mereka menghentikan praktik kotor yang dapat menghancurkan PKS itu. Namun tudingan Supendi justru diredam dengan tindakan pemecatan. Suara kebenaran Supendi langsung digilas arogansi kekuasaan. Boleh jadi, Luthfi kini menyesal. Andai ia mendengar suara kebenaran Ustad Supendi, niscaya ia tidak akan terjepit di antara dua daging, daging sapi dan daging lainnya.
Sumber : Nono Ratamila
Si pengacara – sebut saja namanya Panji – tidak menampik dunia yang digelutinya penuh dengan perangkap kenikmatan, yang bila tidak disikapi dengan bijak akan membawa petaka. Menurut Panji, ia pernah disodori uang, dari ratusan hingga miliaran rupiah, agar ia mengurungkan niatnya membela sebuah perkara pelanggaran HAM berat yang melibatkan seorang pejabat negara. Ia juga pernah dikasih mobil Mercy seri mutakhir. Di lain waktu, ia bahkan pernah ditawari teman tidur seorang perempuan cantik. Semacam gratifikasi seks.
Saya mengenal Panji semasa kuliah dulu. Kami sama-sama aktivis mahasiswa. Saya menjadi aktivis di sebuah komunitas yang penuh dengan wacana high politics, yang selalu menabur mimpi di atas angin. Saya harus menjadi pejabat negara atau anggota dewan di Senayan, begitu kerap saya menimbun mimpi. Sementara Panji justru memilih bergumul dengan dunia orang kecil, orang-orang terpinggirkan, yang suaranya terdengar sayup di tengah kebisingan kota dan keriuhan lalu lintas kata di pusat keramaian kekuasaan.
Dalam setiap perjumpaan kami, ia begitu getol membela orang-orang kecil, yang hak-haknya dirampas negara. Di tengah kami, Panji memang dikenal sebagai juru bicara komunitas kaum marginal yang gagap dan gugup menyuarakan keinginan di bawah gertakan wajah kekuasaan yang beringas. Sementara saya sendiri terus menerus merajut mimpi-mimpi indah membangun dunia borjuasi. Meski hingga kini mimpi saya tetap saja tak bertepi kenyataan.
Dunia orang kecil ini pula yang dipilih Panji selepas kuliah. Ia bergabung di YLBHI, sebuah lembaga hukum di Jakarta yang membela hak-hak orang kecil, yang tak mampu membayar pengacara bertarif tinggi. Seiringan dengan perjalanan waktu, Panji tampil sebagai pengacara kasus pelanggaran HAM yang disegani. Ia membela kasus-kasus HAM berat dari Aceh, Timtim hingga Papua. Bahkan, kasus terorisme pun pernah dibelanya. Saya membela hak, bukan perbuatannya, kata Panji, suatu ketika, menangkis gugatan saya.
Hingga kini Panji mampu menepis setiap godaan kedagingan. Terakhir kali saya bertemu ia masih mengendarai mobil Ferosa kusam. Entah kapan dibelinya. Mungkin juga mobil bekas. Maklum Panji seorang pengacara yang membela kasus-kasus besar, namun kering uang. Orang kecil, itu passion saya, ujar Panji seolah mau menegaskan kembali komitmen semasa mahasiswa dulu.
Berbeda dengan Panji, para selebritas politik kita saat ini ternyata banyak yang tak mampu membendung serbuan kedagingan. Keinginan untuk punya rumah mentereng di kawasan elite, tabungan miliaran rupiah, merasakan empuknya Ferrari, makan malam di hotel bintang lima, pelesiran ke mancanegara, mengencani perempuan cantik, dan masih banyak lagi kemewahan lain terus menerus menggoda pikiran. Walhasil, banyak politisi kita yang terbelit kasus korupsi. Tak susah mencari contoh politisi yang tergoda rayuan kedagingan. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin semisal. Ia mendekam dalam penjara, karena terlibat korupsi di sejumlah proyek. Rekan separtai Nazaruddin, Angelina Sondakh pun demikian. Wakil Sekjen Partai Demokrat itu divonis 4,5 tahun penjara, karena ia mengorupsi puluhan miliar rupiah dari sejumlah proyek di beberapa kementerian.
Contoh lain, politikus PAN Wa Ode Nurhayati. Semula Wa Ode mengesankan diri sebagai whistle blower, peniup peluit yang memberi sinyal adanya praktik kotor di Banggar DPR. Namun di Pengadilan Tipikor majelis hakim membuktikan Wa Ode bukan seorang malaikat pembawa suara kebenaran dari surga. Karena itu, Wa Ode pun diganjar hukuman penjara. Sebelum Wa Ode, politikus dari PKS Muhammad Misbakhun juga tersandung kenikmatan kedagingan. Ia pun merasakan hidup di balik jeruji besi.
Persoalan kedagingan juga menyelusup masuk ke markas partai dakwah, PKS. Senin (4/2) jelang tengah malam publik di Tanah Air dikejutkan dengan kabar penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh penyidik KPK. Luthfi ditangkap, karena diduga menerima suap impor daging sapi dari PT Indoguna Utama. Tak tanggung-tanggung, Luthfi akan mendapat jatah suap sebesar Rp 40 miliar.
Sebetulnya, jauh sebelum kasus ini merebak di tengah masyarakat, salah satu pendiri PKS Yusuf Supendi sudah bersuara lantang. Pada Maret tahun lalu Supendi menuding Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminudin, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dan Sekjen PKS Anis Matta terlibat korupsi. Karena itu, ia berharap mereka menghentikan praktik kotor yang dapat menghancurkan PKS itu. Namun tudingan Supendi justru diredam dengan tindakan pemecatan. Suara kebenaran Supendi langsung digilas arogansi kekuasaan. Boleh jadi, Luthfi kini menyesal. Andai ia mendengar suara kebenaran Ustad Supendi, niscaya ia tidak akan terjepit di antara dua daging, daging sapi dan daging lainnya.
Sumber : Nono Ratamila
0 comments:
Post a Comment
Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v