Mimpi Gantung Anas

Matahari sudah condong ke barat ketika kereta komuter yang kutumpangi menyentuh bibir selatan Stasiun Gambir. Aku buru-buru melompat turun. Kedatanganku langsung disergap gegap gempita suara dari arah barat. Tepatnya dari kawasan Monas. Terdengar teriakan membahana. Ada amarah yang begitu membara mengukir di ujung lidah. Gantung Anas…gantung Anas…gantung Anas. Lho kok, gantung Anas? Aku terpana.

Anas mana yang hendak digantung? Apakah Annas Alamudi, mahasiswa Fakultas Hukum UI yang sengaja menabrakkan mobilnya ke barikade tentara pada demo mahasiswa 11 November 1998 silam itu? Apakah mahasiswa pemberani yang mengorbankan diri demi memperjuangkan reformasi itu kini bertukar rupa menjadi penjahat kakap? Apa dosanya, sehingga ia layak digantung di Monas? Aku ingat. Ketika itu Annas begitu heroik berusaha menerobos lapisan tentara yang membendung gerak langkah ribuan demonstran di jalan Imam Bonjol. Sejumlah tentara terpental, berlumuran darah. Annas langsung diringkus puluhan tentara. Entah apa yang terjadi kemudian, aku tidak tahu. Baru tahun 2000 aku kembali bertemu Annas di Astaga.com. Ia menjadi reporter sebentar lalu menghilang lagi. Kata kawan-kawan, pemuda nyentrik itu ke Amerika. Meneruskan sekolah.

Atau mungkinkah Anas yang hendak digantung itu Anas Urbaningrum, yang Ketua Umum Partai Demokrat itu? Ah, rasa-rasanya tidak. Anas Urbaningrum itu politikus santun, yang kata dan tindakannya selalu terukur. Tidak mungkin Anas Urbaningrum, aku terus membatin. Ia orang baik. Istriku saja sangat mengagumi sosok seorang Anas. Menurut istriku, Anas itu suami impian. Usia boleh muda, namun karier politiknya top markotop. Ia mampu bertengger di posisi puncak partai yang kini sedang berkuasa. Dan, selama lebih dari dua tahun ini ia begitu piawai mengkonduktori dan memainkan orkestrasi Demokrat di panggung seni politik nasional.

Aku segera berlari ke Monas, membelah lautan manusia yang hendak menyaksikan peristiwa langka itu. Dengan susah payah, aku berhasil mencapai barisan depan. Aku melihat di pojok kanan belasan politisi Demokrat berdiri kaku, muram. Ada Marzuki Alie, Syarief Hasan, Sutan Bhatoegana, Ibas, Ahmad Mubarok, Saan Mustopa, Andi Nurpati, Gede Pasek, Johny Alen. Tak ketinggalan Wakil Ketua Banggar DPR Mirwan Amir juga ada di situ. Agak menjauh berdiri Ruhut “Poltak” Sitompul. Di sampingnya ada Andi Mallarangeng. Aku mendekat ke Ruhut. “Bang, apa Anas Ketua Partai Abang yang akan digantung?” Ruhut diam membeku. Tak biasanya politikus “bocor” itu mengunci rapat mulutnya.

Tak mendapat jawaban dari si Poltak, aku nengok kanan kiri, berharap ada sosok yang kukenal. Eh, ada Nazaruddin, si pengicau yang tak kunjung henti mengusik ketenangan Anas. Kicauan terakhir Nazar usai diperiksa KPK, Kamis (14/2). Ia minta Jokowi membersihkan Monas sebagai persiapan  untuk menggantung Anas. Nazar berdiri bersama istrinya, Neneng. Di situ ada juga Angie dan Mindo Rosalina. Nazar hanya menggeleng menjawab pertanyaanku. Lho, kenapa Nazar begitu kompak dengan Ruhut? Bukankah selama ini kicauan keduanya begitu ramai terdengar?

Di pojok lain sekelompok perempuan muda tak henti terisak. Air mata mereka terus mengairi pipi berbedak debu. Seorang pria tua menghampiri. “Udahlah, Nak. Ini memang cita-cita Mas Anas.” “Lho, cita-cita apaan? Mana ada orang yang bercita-cita digantung di Monas, Pak?” sergah seorang perempuan berkerudung hitam. “Nak, aku tak mengarang cerita. Mas Anas memang sudah memaklumatkan ke khalayak, sesen saja Anas makan uang Hambalang, gantung Anas di Monas. Apa itu bukan cita-cita mulia, Mas Anas?” timpal pria tua itu. “Tapi, Pak…” Perempuan itu tak mampu lagi  bersuara. Kata-katanya tersumbat kesedihan yang amat dalam.

Di kaki Monas terlihat pemandangan lain. Tujuh algojo terus menyiapkan peralatan. Seutas tali sebesar jempol kaki telah terulur dari puncak Monas. Aku mendongak, memandang ke atas. Uh, tinggi juga. Aku membayangkan tubuh Anas yang berbalut seragam biru dengan penutup wajah hitam itu perlahan dikerek algojo menuju puncak kematian. Jalan Anas menuju sakratul maut terasa dingin. Sebuah kematian yang kering, getir, dan sepi. Tak ada madah pujian. Tiada rapalan doa pelapang jalan menuju Sang Khalik.

Di puncak Monas tubuh itu terayun ke sana ke mari diterpa angin kencang. Tubuh itu lemah lunglai, tak lagi bertenaga. Tak ada lagi optimisme seperti yang selama ini menafasi setiap gerak langkah Anas di berbagai panggung kehidupan. Dari ujung kaki perlahan cairan putih menetes membentuk genangan kecil di kaki Monas. “Anas sudah meninggal! Anas sudah meninggal!” ratapku di tengah raungan keras sirene algojo, pemberi tanda Anas telah mengakhiri ziarah penuh liku di alam fana ini.

“Anas meninggal? Kapan? Di mana?” tanya istriku sambil mengguncang keras tubuhku. “Anas tidak boleh meninggal. Ia milik masa depan. Anas terlalu berharga untuk mati muda. Bangsa ini masih membutuhkan seorang Anas,” lanjut istriku. “Siapa yang meninggal, Ma. Anas tidak meninggal. Ia tadi mati digantung di Monas, tapi itu dalam mimpiku yang baru saja dibunuh Mama.” “Alhamdulillah!” sambung istriku sembari membungkam suara alarm di ponselku.





Cerita di atas hanyalah sepenggal tulisan pendek dan bukan berisi tentang sindiran atau apapun yng berbau rasis dan juga politik. Cerita di atas hanyalah karangan seorang mahasiswa yang ingin adanya suatu perubahan kecil pada negrinya yang dimulai dari hal hal kecil.
Thanks Regards. :))

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Silahkan dicomment ya, dan kalo ada yang mau ditanya silahkan tulis di bawah ini ^_^v

Visitor